top of page

Perundungan

  • Writer: rahmafachrunisa
    rahmafachrunisa
  • Apr 19, 2022
  • 6 min read

Proses ini tak selalu berjalan menyenangkan. Dan salah satu hal yang membuatku sangat bersedih adalah karena hari ini aku menyaksikan perundungan antar anak-anak yang berlangsung di hadapanku, dengan sangat jelas.


Sebelumnya, aku memang sedang menangani permasalahan pada anak yang pernah menjadi korban perundungan. Namun, pengalaman perundungan itu terjadi di masa lalu mereka, dan aku tidak berada di sana. Dan hari ini, situasinya berbeda. Aku adalah satu-satunya orang dewasa yang ada di sana, menyaksikan bagaimana kejadian perundungan itu berlangsung, dan berusaha sebisa mungkin untuk membuat situasi tidak semakin buruk.


Kejadian berawal dari sekumpulan anak yang sedang bermain seperti biasa dengan senang. Hingga kemudian dua orang anak, salah satunya berbadan besar, datang dengan ekspresi kesal dan langsung mendekati salah satu anak tersebut. Ia mengatakan pada anak itu bahwa dia harus memberikan uang pengganti karena barangnya dirusak oleh adiknya, dan dia adalah keluarganya sehingga dia yang harus bertanggung jawab. Mendengarkan hal itu, aku merasa bahwa apa yang terjadi memang sudah tidak beres. Anak itu datang bukan sekadar untuk mencari penyelesaian dari barangnya yang rusak, namun ia sengaja untuk memanfaatkan kejadian itu sebagai kesempatan untuk mencari kesalahan dari si anak dan memojokkannya. Ia juga mengatakan, “Sampai aku mati, aku bakal ingat ini.” sebagai bentuk ancaman pada si anak yang menjadi sasarannya. Si anak yang pada awalnya bermain dengan gembira, kemudian menunjukkan perubahan ekspresi menjadi diam, takut, dan bingung. Aku berusaha agar bisa masuk dalam pembicaraan mereka dan menengahi permasalahan. “Sini, sini, cerita ke Miss Rahma.” Si anak besar menceritakan kronologinya, dan aku berusaha sebaik mungkin untuk mendengarkan. Namun setelah dipikirkan, si anak sasaran memang tidak melakukan kesalahan apa-apa. Pun juga untuk bertanggung jawab dengan apa yang dilakukan oleh adiknya bukanlah merupakan kewajibannya sepenuhnya, melainkan adalah kewajiban orang tuanya. Terlebih lagi, aku juga belum mendengarkan cerita dari sudut pandang si anak sasaran karena ia tidak berani mengucapkan kata-kata apapun. Akhirnya aku menyampaikan, “Itu bukan kesalahannya. Dia nggak melakukan kesalahan apa-apa. Udah coba bilang ke orang tuanya? Biar orang tuanya yang ganti uangmu.” Si anak besar tampak menunjukkan ekspresi, “Iya, ya, bener juga.” sekaligus masih ada rasa tidak puas jika penyelesaiannya demikian. Baginya, yang harus bertanggung jawab tetaplah si anak sasaran, apapun yang terjadi. Anak itu kemudian tidak mau menatapku, dan kemudian ketegangan itu mereda karena ia dan kawannya pergi ke luar sebentar. Di kesempatan itu, aku berusaha untuk memahami kejadiannya dari sudut pandang si anak sasaran, yang mana ternyata kerusakan barang temannya juga akibat kecerobohan temannya tersebut. Setelah itu, kedua anak itu datang kembali, dan mulai tertarik ikut memainkan permainan-permainan yang ada di meja. Aku tahu bahwa tujuannya untuk memojokkan si anak sasaran sebenarnya belum usai. Dan di titik itu, aku mulai mengkhawatirkan apa yang akan terjadi pada si anak sasaran selanjutnya.


Si anak besar bermain dengan kawannya menggunakan permainan-permainan yang tersedia. Bagaimana ia bermain pun menunjukkan hal yang tidak layak untuk anak seusianya. Ia benar-benar memberikan pengaruh yang buruk pada teman-temannya yang lain di sana, dan situasi itu, mau tidak mau, mengharuskanku berusaha mengkondisikan mereka sebaik mungkin. Melalui kegiatan bermain bersama tersebut, di satu sisi, aku melihat sisi ‘anak-anak’ pada anak tersebut, namun di sisi lain, aku juga melihat kondisi dasar jiwanya yang benar-benar tidak terjaga dengan baik. Aku sungguh menyayangkan hal itu, namun aku juga tidak mengerti apa yang telah terjadi dalam hidupnya, dan bagaimana pendidikan yang telah ia dapatkan. Dan selama permainan tersebut, beberapa kali ia masih mendekati si anak sasaran, yang meskipun ia tidak lagi mengatakan apapun yang mengancam, namun keberadaannya seakan ingin menunjukkan bahwa ia siap menerkamnya dan memiliki kekuasan yang lebih besar dibandingkan anak tersebut. Aku tahu bahwa ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar menerkam si anak sasaran, mungkin ketika aku sudah pergi? Saat aku berusaha memisahkan mereka, aku harus menggunakan berbagai macam cara karena ia cenderung tidak menggubrisku di awal, mungkin ia juga ingin menunjukkan kekuasannya di hadapanku, namun tetap saja tidak berhasil.


Hingga akhirnya di tengah proses bermain dan belajar, ketika si anak sasaran sedang ke luar sebentar, kedua anak perundung yang tadinya sempat keluar akhirnya mencari-cari anak tersebut di dalam rumah. “Lho, si itu mana?” tanyanya gusar. Di situasi tersebut, aku merasa bahwa kejadian tidak menyenangkan akan terjadi. Dan ketika si anak sasaran datang, kedua anak tersebut segera menghadangnya di pintu. Si anak sasaran terpojokkan dan tidak bisa bergerak. Kemudian kedua anak tersebut segera memukulinya. Aku segera bergegas untuk melerainya. Aku memeluk si anak sasaran dan berusaha melindunginya dari hantaman tangan kedua teman perundungnya tersebut. Waktu itu aku sedikit terlambat, karena si anak sasaran sempat terkena pukulan di hidungnya, namun setidaknya ia tidak mendapatkan pukulan lain yang tentu lebih menyakitkan. Aku berusaha menghentikan tangan-tangan tidak bertanggung jawab kedua temannya itu, dan aku langsung mengusir mereka. Aku benar-benar mengusirnya dengan keras, yang mana mungkin ekspresi marahku akan terlihat jelas jika saat itu aku tidak menggunakan masker. Aku bermaksud untuk bisa berdialog dengan mereka soal apa yang sudah mereka perbuat kepada temannya tersebut, namun situasi itu terlalu menakutkan bagi si anak sasaran kalau para perundung masih tetap di sana. Pun juga pada waktu itu, aku sedang berusaha untuk mengontrol emosiku yang mulai tersulut juga, namun kemudian aku menyadari bahwa di situasi tersebut, aku harus menjadi penengah, pun juga apabila aku menghadapi para perundung dengan amarah, itu tidak akan memberikan kesan yang baik dalam jiwa mereka. Anak itu menangis tersedu-sedu, dan aku segera mendudukkannya dan mengatakan, “Nggak apa-apa nangis dulu. Mana yang sakit?” Pintu rumah segera kututup, setidaknya untuk memberikan rasa aman pada anak itu agar ia bisa mengekpresikan apa yang ia rasakan saat itu. Aku menunggunya hingga tangisnya mereda, dan mengusap air matanya. Dan saat itu adalah situasi yang benar-benar membuatku bersedih, iba, marah, kesal, sekaligus heran dengan apa yang baru kusaksikan.


Perundungan: sebuah perilaku menjatuhkan orang lain secara berulang dalam rangka menunjukkan bahwa si perundung memiliki kedudukan dan kekuasaan yang lebih tinggi dibanding yang dirundung, Perilaku tersebut dapat memiliki beragam bentuk, misalkan dalam bentuk kata dan ucapan yang menjatuhkan (kekerasan verbal), hingga dalam bentuk kekerasan fisik. Perilaku tersebut memberikan dampak yang tidak baik bagi pelaku maupun korban. Bagi pelaku, merundung bukanlah suatu perilaku yang tepat untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih berharga dibandingkan orang lain, karena apa yang ia lakukan justru semakin menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar layak dihargai. Dengan kata lain, ia mencari sesuatu yang samar dan justru menjatuhkan dirinya sendiri di masa depan nanti. Dan bagi yang dirundung, pengalaman tersebut akan terekam dan mewarnai prosesnya dalam berkembang, yang mana biasanya cenderung dalam bentuk yang tidak menyenangkan, misalkan trauma, yang dapat memengaruhi pertemanan mereka ke depannya, hingga performa akademis mereka. Perundungan tidak akan pernah memberikan manfaat apapun bagi siapapun. Apabila si perundung merasa dirinya hebat dengan cara merundung orang lain, maka yang ia rasakan sebenarnya adalah perasaan yang semu dan tidak nyata.


Dan berbicara mengenai perundungan pada anak (yang menjadi pelaku dan korban adalah anak), maka tidak terlepaskan dari bagaimana pendidikan yang diberikan orang tua pada anak. Tentu ini akan menjadi pembahasan yang panjang dan tidak sederhana. Namun yang ingin saya tekankan melalui tulisan ini adalah bahwa perundungan bukanlah suatu hal yang bisa dibiarkan begitu saja. Perlu ada proses pendidikan yang menjaga kemurnian jiwa anak dalam rangka menjaga anak dari berbagai sifat dan perilaku yang dapat mengarah pada perundungan, misalkan sifat dan perilaku membantah, tidak jujur, mengejek, memukul, berkata kasar, marah, maupun bentuk lainnya. Pun juga perlu adanya penjagaan terhadap anak agar tidak menjadi korban perundungan, dan kalaupun kondisi tersebut terjadi pada anak, maka anak dapat memiliki sosok aman untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman tidak menyenangkannya kepada orang tua, setidaknya agar anak tidak merasa sendirian dan tidak berdaya. Dan bagi siapapun yang menyaksikan adanya perundungan di sekitar, maka usahakan agar situasi tidak semakin buruk agar nantinya hati tidak menjadi ‘mati rasa’ akibat membiarkan kejadian buruk tersebut terjadi di depan mata. Bentuk bantuan yang diberikan dapat beragam, misalkan memastikan keamanan korban perundungan, melerai perundungan, mendengarkan ceritanya, menyampaikan informasi kepada pendidik yang bersangkutan apabila perundungan terjadi di lingkungan pendidikan, maupun menyampaikan ke orang tua agar mengerti kondisi anak, yang mana bentuk bantuan dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada.


Aku merasa apa yang kulakukan hari ini tidak maksimal, karena si anak sasaran masih terkena tonjokan di hidungnya, dan aku juga tidak mengetahui apa yang akan terjadi padanya esok hari ketika ia bertemu kembali dengan para perundung itu, dan sejujurnya itulah yang masih membuatku khawatir padanya hingga saat ini. Namun aku juga harus mengerti batasanku, dan perlu memahami bahwa Allah SWT adalah sebaik-baik pelindung baginya. Aku berharap agar kejadian buruk itu, atau yang lebih buruk lagi, tidak terjadi kembali dalam hidup si anak sasaran tersebut.

Recent Posts

See All
"Bu ..."

"Ada makna di balik peran. Apa maksud dari peranmu?" Tulisan dalam bagian #catatanpsikolog ini saya dedikasikan sebagai sarana bagi saya...

 
 
 
Terima kasih

Sosok kecil itu tiba-tiba mendekat dan memelukku sambil menggenggam play dough dan kelereng di tangannya. Ia hanya diam tanpa mengatakan...

 
 
 
Belajar

“Miss, Miss itu pekerjaannya apa, sih?” tanyanya, sambil meneguk segelas es teh segar yang disediakan oleh ibunya selepas kami belajar...

 
 
 

Comentarios


© 2018 by Rahma. Proudly created with Wix.com

bottom of page