"Bu ..."
- rahmafachrunisa
- Aug 31, 2024
- 3 min read
"Ada makna di balik peran. Apa maksud dari peranmu?"
Tulisan dalam bagian #catatanpsikolog ini saya dedikasikan sebagai sarana bagi saya untuk menghayati peran saya sebagai ‘calon’ psikolog (insyaa Allah), setelah saya sempat merasa kehilangan makna dan tujuan dari proses panjang menuju peran tersebut. Saya berencana untuk menuliskan pengalaman dan insight yang saya dapatkan selama berproses sebagai calon psikolog saat ini hingga menjadi psikolog di masa depan, insyaa Allah, agar nantinya saya dapat bercermin pada pengalaman saya sendiri dan mengevaluasi proses yang kurang maksimal.
Proses persiapan profesi psikolog dimulai dari pendidikan psikologi di tingkat S1, kemudian dilanjutkan di tingkat S2 (magister sekaligus profesi psikologi). Dan saat ini, saya sedang menjalani proses pendidikan di jenjang magister psikologi profesi, tepatnya telah berada di semester 4. Di semester ini, saya dan rekan-rekan saya mulai memasuki masa Praktik Kerja Profesi Psikologi (PKPP), setelah di semester lalu kami mulai menyusun tugas akhir tesis. Adanya PKPP bertujuan agar kami dapat mengasah pengetahuan dan keterampilan kami sebagai calon psikolog dalam menghadapi permasalahan yang dijumpai di lapangan dengan disupervisi oleh psikolog. Selama PKPP, kami dimaksudkan untuk menangani permasalahan psikologis yang ditemukan dalam seluruh jenjang pendidikan, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, dengan rincian 5 kasus individu di setiap jenjang, 1 kasus kelompok, dan 1 kasus sistem pendidikan. Dan melalui tulisan ini, saya ingin membagikan pandangan dan pengalaman saya selama menjalani PKPP, dengan harapan terkhusus sebagai bahan perbaikan diri saya sendiri.
***
“Bu Rahma ...”
“Miss Rahma ...”
“Mbak Rahma ...”
Ketiga sapaan tersebut bukanlah suatu sapaan yang asing bagiku. Namun pada saat itu, aku merasakan pemaknaan yang berbeda dari sebelumnya tentang arti di balik panggilan tersebut.
Bu, Miss, atau Mbak: tergantung pada jenis dan budaya di sekolah. Meski dengan istilah yang berbeda, namun, bagiku, ketiganya memiliki daya yang sama kuatnya untuk membuat hatiku terenyuh. Mengapa? Aku pun bertanya-tanya pada diriku. Tak bisakah aku menanggapinya dengan sambil lalu saja? Kenapa ada perasaan tidak biasa yang harus kusadari dan kupahami ketika aku dipanggil dengan panggilan demikian?
Aku menyadari adanya tanggung jawab yang besar di balik panggilan tersebut: tanggung jawab untuk menjadi seorang ‘teman’ yang dapat dipercaya sebagai teman bercerita oleh para klien -yang merupakan siswa dan mahasiswa-; sebagai seorang profesional yang diharapkan dapat membantu, mendampingi, dan memberikan manfaat bagi klien dalam menghadapi permasalahan psikologisnya; sebagai kakak yang -secara usia- lebih tua dan selayaknya menyayangi dan menghargai mereka; sebagai orang dewasa yang perlu memahami ‘dunia anak’ dan ‘dunia orang dewasa’ karena berinteraksi dengan anak, orang tua, teman, saudara, maupun guru dari klien; sebagai kolega dari rekan seperjuangan yang perlu saling memahami dan membantu karena memikul tanggung jawab yang kurang lebih sama; sebagai diri sendiri yang mengenali adanya keterbatasan dan kekurangan dalam banyak hal; dan, sebagai seorang pembelajar yang mencoba memahami tanda-tanda-Nya melalui kondisi permasalahan yang dijumpai.
Tanggung jawab ini membuatku mempertanyakan hingga menyadari atas beratnya pertanggungjawaban ilmu yang perlu aku dan teman-temanku emban. Kenyataan bahwa klien yang kutemui memilih untuk percaya dan mau bercerita meskipun aku adalah orang baru, bahkan orang asing dalam hidup mereka, di tengah adanya pengalaman tidak menyenangkan dalam hidup mereka yang membuat mereka enggan dan tidak yakin untuk bercerita pada orang lain, merupakan sebuah tanggung jawab yang besar untuk dapat mendengarkan dan membantu mereka dalam menghadapi permasalahan mereka. Mengapa? Karena aku memahami bagaimana sulitnya mencoba percaya pada orang lain di saat pengalaman sebelumnya membuat diri ragu untuk bercerita pada orang lain, dan tentu saja, itu membutuhkan tekad dan usaha yang besar untuk keluar dari kondisi tersebut. Pun juga kenyataan bahwa aku dapat menilik dan menyaksikan kondisi instansi pendidikan, praktik pendidikan, dan sistem pendidikan yang tidak sepenuhnya serupa, meskipun aku adalah orang ‘luar’, juga merupakan suatu penghargaan yang tidak bisa diberikan kepada pihak lain secara sembarang, dan kesempatan tersebut juga membuatkan lebih banyak merenungkan dan memikirkan mengenai proses pendidikan yang lebih esensial. Begitu pula dengan berbagai kondisi lain yang membuatku semakin menyadari atas peranku dalam kondisi tersebut: sebagai seseorang yang Allah SWT berikan kesempatan untuk menyaksikan dan bersikap atas apa yang disaksikan.
Dan kesempatan-kesempatan tersebut juga membuatku menyadari suatu hal: tentang tujuanku untuk mengambil peran tersebut. Aku mengatakan di awal tulisan bahwa aku sempat kehilangan tujuan dalam menjalani proses ini, namun sapaan yang keluar dari bibir-bibir kecil mereka: anak-anak, maupun dari mereka yang sudah beranjak menjadi manusia yang lebih dewasa: para remaja dan dewasa, membuatku ingat bahwasanya aku sedang tidak kehilangan tujuan, melainkan aku sedang kesulitan untuk mempertahankan apa yang menjadi tujuanku. Dan ke depannya, tentu akan ada hal yang lebih tidak mudah dalam prosesku mempertahankan tujuanku tersebut, sehingga aku tidak perlu terlalu risau untuk mempertanyakan di mana keberadaanku dan alasan di balik keberadaanku saat ini.
Aku mulai menyayangi klien-klienku sebagai manusia yang bersedia menerima kehadiranku dan mempercayaiku untuk bertumbuh bersama di tengah segala permasalahan dan keterbatasan kami, karena Allah SWT.
Comments