Belajar
- rahmafachrunisa
- Jul 6, 2022
- 2 min read
“Miss, Miss itu pekerjaannya apa, sih?” tanyanya, sambil meneguk segelas es teh segar yang disediakan oleh ibunya selepas kami belajar bersama.”
“Mmm ... Miss kerjanya jadi psikolog.” jawabku dengan singkat, sambil bertanya-tanya apa yang akan ia pikirkan setelah mendengarkan jawabanku. Cukup mengherankan juga karena ia baru menanyakan hal tersebut setelah belasan kali pertemuan kami. Aku merasa gemas.
“Psikolog itu apa, Miss?” wajahnya tampak sedang berpikir. “Yang ngajarin anak yang belum bisa, ya?”
Jika dalam situasi tersebut, bagaimana sebaiknya aku menjelaskan mengenai peranku kepada anak usia belia yang sama sekali belum mengenal peran psikolog, ya? Aku tidak mungkin menggunakan istilah sulit atau penjelasan yang tidak familiar baginya. Juga, tentu aku tidak bisa mengatakan hal-hal yang akan semakin membuatnya berpikir negatif atau melabeli dirinya sendiri. Aku tidak sampai hati.
“Miss Rahma ngajarin anak-anak biar suka belajar. Ngga cuma buat yang belum bisa, ada juga yang udah bisa.” Aku berharap agar jawabanku bisa ia terima.
Ia tampak cukup puas dengan jawabanku, jadi aku melanjutkan, “X, suka, ngga, belajar sama Miss Rahma?”
Ia mengacungkan jempolnya. “Suka.”
Aku tersenyum di balik maskerku. Aku bisa melihat sorot mata tulusnya. “Kenapa suka?”
Ia tersenyum lebar. “Soalnya seru ....”
Mungkin inilah rasanya ketika hatiku berbunga-bunga. Maasyaa Allah.
“X sekarang suka belajar, nggak?” Percakapan ini adalah kesempatan yang baik bagiku untuk menanyakan persepsinya mengenai aktivitas belajar saat ini.
“Iyaa, 99,9% deh sukanya.” jawabnya, masih dengan senyum lebarnya. “Kalau jadi 100%, nanti aku belajar terus.” lalu ia tertawa.
Aku ikut tertawa. Entah ia paham atau tidak dengan persentase yang ia katakan tadi.
***
Aku tersenyum ketika mengingat momen tersebut. Aku masih ingat ekspresinya dahulu ketika belajar di sekolah: tegang dan penuh tekanan, seakan proses belajar menjadi aktivitas yang tidak menyenangkan baginya. Dan sekarang, aku melihat ekspresi senangnya dalam proses pembelajaran: sesuatu yang langka dan sulit aku temukan pada saat awal pertemuan kami.
Dan melalui percakapan tersebut, aku menjadi kembali memikirkan mengenai esensi dari peran profesi yang sedang kuupayakan saat ini.
Terlepas dari berbagai aktivitas yang selayaknya dijalankan oleh seorang psikolog, aku mencoba menghayati maksud profesi tersebut sebagai orang yang membantu orang lain untuk ‘mencintai proses belajar’.
Karena belajar tidak hanya dilakukan melalui aktivitas akademik, melainkan juga dalam bentuk apapun, kapanpun, selama menjalani kehidupan ini, dalam rangka menjadi manusia dengan kondisi yang lebih baik. Maasyaa Allah.
***
Sekali lagi, terima kasih, Dek. Kamu membantuku menemukan apa yang sedang kucari, atas izin Allah SWT. Alhamdulillah.
Comments