Membaca buku
- rahmafachrunisa
- Sep 6, 2018
- 4 min read
[Kenapa Harus Membaca Buku?]
"Emangnya kenapa harus membaca buku?"
"Ih baca buku terus. yang di buku sama kenyataan beda kali."
"Aku lebih suka di dunia luar, interaksi sama orang."
Setelah saya pikir-pikir, kenapa, ya, seseorang perlu membaca buku? Kenapa juga saya harus membaca buku?
Saya memang sudah dikenalkan dengan dunia membaca sejak kecil. Seingat saya, saya adalah anak yang sangat tidak tahan untuk tidak melakukan apa-apa. Harus ada yang dilakukan, harus ada yang dipikirkan. Kalau tidak, hmm, akan ada jam tidur siang orang lain yang pada akhirnya saya ganggu, atau orang-orang di rumah akan jenuh mendengar saya merajuk, "Bosan....".
Kemudian saya dikenalkan dengan dunia membaca, itu pun karena kedua kakak saya yang sudah gemar membaca. Kalau tidak, mah, saya pilih main aja sama anak tetangga, sampai maghrib dicariin nggak pulang-pulang, eh taunya berantakin dari satu rumah ke rumah lainnya. Itu, tuh, bikin tenda di bawah meja pakai selimut atau sarung.
Saya pernah menyaksikan salah satu kakak saya sedang mengetik naskah cerpen untuk dikirimkan ke suatu penerbit. "Wih, keren banget." Saya hanya bergumam sederhana. Hal itu mendorong saya untuk semakin sering memperhatikan kakak saya ketika sedang membaca buku. Entahlah, perasaan tertarik membaca buku tersebut mulai datang. Dan akhirnya saya mulai dibelikan buku, dengan saya yang memilih buku itu sendiri.
Saya mulai membaca buku. Tapi tetap saja, saya nggak betah baca buku lama-lama. Masih lebih enak main sama tetangga. Masak-masakan, buaya-buayaan, apapun jenis permainannya, sih, seru-seru aja. Tapi, entahlah, saya sendiri juga nggak terlalu ingat kenapa pada akhirnya betah membaca buku. Yang jelas, sejak kecil imajinasi saya liar. Dan saya suka ketika saya dapat meliarkan imajinasi saya, memperluas cakrawala pengetahuan saya, dan memahami banyak hal di dunia hanya dengan membaca kumpulan kertas itu saja. Saya seperti menemukan 'sesuatu' yang memahami saya, dan mengerti akan hal-hal yang saya ingin ketahui. Kemudian saya mulai menulis, dan itu memberikan dorongan tersendiri bagi saya untuk tetap membaca.
Namun dunia indah itu sempat terhalang ketika saya SMP. Masih sama ketika saya kecil, saya gampang bosan, dan ngantuk, dan jenuh, dan nggak fokus, dan ketiduran, ketika melakukan hal yang sama dalam waktu yang panjang, begitu pula ketika membaca. Terlebih lagi, saat itu saya tidak menemukan buku yang sesuai dengan kebutuhan saya: mau membaca buku seperti sebelumnya tapi udah ketuaan, mau membaca buku yang lebih serius tapi keburu ketiduran. Ya sudah, lah, pada akhirnya intensitas saya membaca buku (di luar akademis) berkurang drastis.
Sama halnya ketika SMA, entahlah, mungkin saya yang kurang mensyukuri waktu aja, tapi saya merasa nggak ada waktu buat membaca. Dan apa boleh buat, itu sudah berlalu.
Kemudian saya memasuki dunia perkuliahan. Awalnya, masih belum ada buku apa pun di rak saya. Kehidupan kampus yang sangat heterogen ini membuat saya terlalu excited. Ada banyak hal yang bisa saya pelajari di perkuliahan ini: tentang jurnal, dosen, mata kuliah, jurnal, kegiatan mahasiswa, kehidupan fakultas maupun universitas, jurnal, kegiatan sosial, apa pun, termasuk jurnal. Loh, kenapa jurnalnya disebut berkali-kali? Hehe. Karena itu salah satu yang bikin saya pusing, pada awalnya, di perkuliahan ini. Saya minder ketika saya udah baca berkali-kali itu jurnal, tapi saya nggak paham, dan teman saya paham, dan saya nggak paham. Oke, seenggaknya udah berusaha mengakrabkan diri dengan jurnal. Dan itu berlanjut terus, hingga saya merasa jenuh dengan kehidupan akademis kampus. Mana buku wajibnya anak psikologi semester awal belum saya baca dengan sungguh-sungguh lagi, sampai sekarang. Saya lebih suka menyimak dosen, atau diskusi dari teman saya, atau berdiskusi dengan kakak tingkat, dan sejujurnya itu cukup membantu. Haha.
Nah, kehidupan perkuliahan tidak hanya diisi oleh akademis saja, bukan? Saya mulai terlibat dalam kegiatan mahasiswa. Cukup banyak hal yang perlu saya pelajari, dan itu semua (sangat) sering membuat konflik batin tersendiri pada saya. Kemudian tibalah saya pada satu titik di mana saya merasa kosong, tak memiliki apa-apa dalam kepala saya ini, menyaksikan banyak hal namun tidak mengerti harus berjalan di sisi yang mana. Kepala saya kosong.
Introspeksi punya selidik, singkatnya, saya pun menyadari bahwa ada hal yang kurang pada saya, dan itu-menurut saya-sangat fatal bagi apa yang sedang saya perjuangkan. Membaca. Ya, saya kurang membaca. Padahal peradaban dapat maju dengan adanya orang-orang yang berilmu, termasuk melalui buku. Dan sejarah sudah membuktikan itu.
Sebagai manusia, saya sadar bahwa apa yang saya lakukan maupun ucapkan, nantinya akan dimintai pertanggungjawaban. Lantas, bagaimana saya bisa mempertanggungjawabkan suatu hal ketika saya tidak memiliki ilmunya? Saya tidak ingin menjadi orang yang hanya mengikuti arus dunia. Setiap orang harus memiliki dasar atas pemikiran maupun tindakannya. Hal inilah yang mendorong saya untuk bisa 'melek' sedikit-demi-sedikit lebih lama ketika membaca.
Ilmu memang tidak hanya bisa didapatkan dari membaca buku. Saya setuju itu. Bagaimana kita mengatur diri kita dalam mencari ilmu, itulah yang terpenting. Buku, orang lain, mentor, televisi, internet, koran, apa saja, silakan. Manusia berhak menentukan bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhannya akan ilmu.
Ilmu di dunia ini luas. Manusia tidak akan sanggup menguasai seluruh ilmu itu. Namun bagaimana sikap manusia untuk berupaya mencari ilmu, salah satunya melalui membaca buku, di sanalah poin plusnya.
Membaca buku tidak hanya mengajariku untuk membuka mata, namun juga membuka telinga, bahkan hati. Saya membaca buku karena saya merasa hina. Namun Yang Maha Memiliki Ilmu masih memberikan saya kesempatan untuk mencicipi keindahan ilmu-Nya.
Membaca buku tidak membuat saya kehilangan waktu untuk melakukan hal lain. Namun bila hal itu memang terjadi, maka itu adalah kesalahan saya yang belum bisa memanajemen waktu dengan baik.
Saya mencoba memperhatikan kembali orang-orang hebat terdahulu, yang mana pemikiran mereka bisa secemerlang itu, salah satunya karena buku. Presiden, pahlawan pergerakan, orang-orang yang namanya diagung-agungkan hingga saat ini, bahkan tokoh Beast dalam film Beauty and the Beast juga punya banyak koleksi buku. Selain itu, beberapa pengusaha sukses juga pernah menegaskan pentingnya menemukan mentor, dan salah satunya melalui buku, karena pemikiran seseorang dapat dipelajari dari tulisannya (ketika kau tak bisa menemui seluruhnya satu per satu).
Bagaimana sikapmu dalam menghadapi ilmu: kau muliakan, kau rendahkan, atau kau abaikan, itulah yang dilihat dalam perjuanganmu.
Dan biarkan saya kembali ke pertanyaan saya, "Kenapa harus membaca buku?"
Hmm?
Ga harus kok. Tapi itu penting. Penting buat akalmu, penting buat jiwamu. Gitu, kalo menurutku.
Comments