top of page

#Pendidikan Mengapa harus ada kesulitan dalam proses belajarku?

  • Writer: rahmafachrunisa
    rahmafachrunisa
  • Feb 19, 2022
  • 3 min read

Sebenarnya, apa itu kesulitan?

Apakah benar terdapat kesulitan?

Mengapa harus ada kesulitan?

Saat Allah SWT telah menjamin bahwa ujian tidak pernah lebih sulit dari kapasitas hamba, mengapa rasa sulit tetap terasa?


***


Berkaca pada pengalaman dapat membantu kita untuk kembali mengevaluasi kesulitan-kesulitan yang pernah dialami dalam kehidupan.


Kesulitan mengikat tali sepatu? Akhirnya terlalui.

Kesulitan belajar menulis? Akhirnya terlalui.

Kesulitan berinteraksi yang baik dengan orang lain? Akhirnya terlalui.

Kesulitan melakukan olahraga tertentu? Akhirnya terlalui.

Kesulitan mengerjakan PR? Akhirnya terlalui.

Kesulitan menghadapi ujian sekolah? Akhirnya terlalui.

Kesulitan membangun persahabatan? Akhirnya terlalui.

Kesulitan lebih mengenali diri sendiri? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam mencapai prestasi tertentu? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam membantu orang tua? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam memaafkan kesalahan orang lain? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam memenuhi target harian? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam memahami makna hidup? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam membantu orang lain? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam merelakan keinginan? Akhirnya terlalui.

Kesulitan dalam merencanakan masa depan? Akhinrya terlalui.

Kesulitan dalam menjalani kehidupan? Akhirnya pun ... akan terlalui.


Jadi, apa sebenarnya makna dari kesulitan?


***


Manusia berkembang. Dan dalam proses berkembang, seringkali manusia membutuhkan hal yang sulit, agar bisa berkembang. Berkembang berarti mampu belajar dari kesulitan yang ada, untuk menghadapi hal lain yang bisa saja lebih sulit nantinya. Saat manusia tidak merasakan adanya kesulitan, bisa jadi sebenarnya ia sedang tidak berkembang. Kesulitan ada sebagai tanda bahwa terdapat hal lebih besar yang sedang dihadapi dan dipelajari. ‘Sesuatu yang besar’ biasanya menimbulkan perasaan ‘merasa kecil’ bagi ‘yang lebih kecil’. Perasaan ‘lebih kecil’ tersebut terkadang termanifestasikan dalam rasa takut, ragu, tidak pantas, dan anggapan-anggapan negatif lainnya. Pandangan-pandangan tersebut yang memperkuat anggapan bahwa kesulitan dalam proses belajar adalah suatu kesulitan yang mutlak.


Benarkah bahwa manusia hanya dapat menyikapi kesulitan dengan cara demikian? Terlebih ketika manusia memiliki kemampuan untuk belajar?


Belajar adalah potensi yang telah Allah SWT berikan kepada setiap hamba-Nya. Tentu, dengan segala tantangan dan konsekuensinya. Belajar tidak selalu mudah. Ada perjuangan, pengorbanan, komitmen, dan jerih payah di dalamnya. Mengapa? Karena apa yang dipelajari pun tidak selalu berupa hal yang mudah. Pun karena ilmu dibersamai oleh tanggung jawab. Semakin luas ilmu yang dipelajari, maka tanggung jawab yang diemban juga semakin besar: tanggung jawab dalam memantaskan diri untuk memahami ilmu-Nya, berusaha mempelajarinya, serta usaha dalam mengamalkan dan memberikan manfaat atasnya. Jika tidak siap mengemban tanggung jawab tersebut, maka sebenarnya ia belum siap untuk belajar dan menerima ilmu tersebut.


Belajar juga membutuhkan adanya pemahaman yang tepat atas posisi diri dalam proses belajar: pemahaman atas peran diri sebagai seorang pembelajar. Ketika diri mengetahui bahwa yang dihadapi adalah “sesuatu yang lebih besar”, tentu diri juga semestinya mengetahui bahwa ia tidak jauh lebih besar dari apa yang dihadapi. Seseorang yang belajar juga semestinya dapat memahami posisinya: tidak merasa berkecil hati dengan melihat dirinya lebih kecil dibanding kenyataan dirinya, apalagi merasa lebih besar dibanding sesuatu yang jelas lebih besar. Seorang pembelajar, dengan ilmu yang ia miliki saat ini, menyadari bahwa posisinya tidak lebih tinggi dibandingkan ilmu lebih luas yang sedang ia pelajari. Dengan demikian, ia tidak perlu merasa ragu, takut, maupun tidak pantas secara berlebihan, tentu karena ia tidak perlu menganggap proses belajar sebagai sarana menaklukkan ‘sesuatu yang lebih besar’, melainkan untuk mengasah potensi diri agar layak untuk memahami ‘sesuatu yang lebih besar’ tersebut.


Pertemuan dan pengenalan terhadap sesuatu yang lebih besar adalah suatu kenikmatan, kesempatan, dan amanah untuk berkembang, bukan sebagai ancaman, yang dapat dimanfaatkan oleh individu dengan sebaik mungkin. Maka Allah SWT Maha Mengetahui sejauh mana ia dapat berkembang dalam kesempatan tersebut, sedangkan manusia tidak sepenuhnya mengetahui sejauh mana ia dapat belajar. Bagi manusia, hasil belajar tidak perlu sepenuhnya menjadi tujuan tunggal, melainkan juga perlu berfokus pada usaha dan perjuangan di dalamnya. Manusia yang menyadari hakikat keberadaannya akan mengenali tugasnya untuk belajar, bukan sebagai penentu hasilnya. Termasuk ketika menghadapi ‘sesuatu yang lebih besar’ atau ilmu-ilmu baru, maka manusia tidak perlu membebani diri untuk menentukan hasil akhirnya akibat adanya anggapan dapat menaklukkan hal tersebut, melainkan semestinya mengusahakan ikhtiyar terbaik dalam proses belajar tersebut.


Dengan kata lain, hal yang lebih sulit untuk dipelajari dalam proses belajar adalah hal yang dibutuhkan untuk berkembang, namun adab kita dalam belajar akan menentukan bagaimana sikap kita dalam menghadapinya: apakah telah tepat ataukah justru terlalu berlebihan dalam menyikapinya.


Dan jika kita merasa terlalu berlebihan dalam menyikapi kesulitan yang dihadapi selama proses belajar, maka solusi terbaiknya adalah dengan kembali mengevaluasi diri dan proses belajar belajar yang dijalani. “Apakah aku telah benar-benar mengenali peranku sebagai seorang pembelajar?”

Comments


© 2018 by Rahma. Proudly created with Wix.com

bottom of page